Peter kembali pulang telat dari tempatnya bekerja, merasa letih. Ia ingin sekali merebahkan tubuh penatnya di tempat tidur, dan larut dalam mimpi indah. Namun, mendadak sudut matanya melihat anaknya, Simon yang berumur 5 tahun berdiri di depan pintu kamarnya. Simon takut-takut menatap sang ayah.
“Ayah, bolehkah aku menanyakan sesuatu?”, tanya Simon dengan mengerjap-ngerjapkan matanya yang bulat bening.
“Ya, Tentu saja. Apakah yang akan kau tanyakan ?” jawab Peter enggan.
“Ayah, berapa uang yang Ayah dapatkan dalam satu jam?” tanya Simon lagi.
“Itu bukan urusanmu! Apa yang membuatmu bertanya seperti itu ?” sahut Peter dengan nada tinggi.
Dia terkejut dan juga marah dengan pertanyaan Simon.
“Aku hanya ingin tahu. Berapakah yang ayah terima?” pinta Simon lagi.
“Jika kamu benar-benat ingin tahu, ayah terima Rp 20.000 per jam” sahut Peter dengan ketus.
“Oh, begitu,” angguk Simon. Sambil mendongak, Simon berkata, pelan.“Ayah, bolehkah aku pinjam Rp 10.000?” rengek Simon meminta dengan memelas.
"Jika alasan kamu ingin tahu jumlah uang yang ayah terima hanya untuk dapat pinjam dan membeli mainan yang tak berguna atau sesuatu yang tidak masuk akal, maka kamu sekarang masuk kamar dan tidur. Apakah kamu tidak berpikir bahwa kamu egois? Ayah bekerja dengan susah payah setiap hari, dan tidak punya waktu untuk mainan anak-anak,” sentak Peter dengan keras.
Simon mengkerut ketakutan. Tubuhnya bergetar, dan tubuhnya menempel lekat dipintu kamar.
"Ayo sana, masuk kamarmu. Ayah capek, ingin tidur...!!" bentak Peter dengan suara menggelegar.
Tubuh Simon semakin gemetar, namun ia tidak berkata sepatah katapun. Hanya menunduk dan perlahan berbalik masuk kamarnya dan dengan perlahan menutup pintu kamarnya. Tapi diam-diam ia menahan agar air matanya agar tidak mengalir jatuh.
Peter duduk dan semakin marah karena pertanyaan anaknya. "Berani-beraninya ia menanyakan pertanyaan tentang gajiku, hanya untuk mendapatkan uang membeli mainan. Dasar anak nakal," geruutu Peter dalam hati.
Namun setelah lebih dari satu jam ia tak bisa tidur dan merenung, Peter sudah tenang dan mulai berpikir bahwa ia agak keras terhadap anaknya. Peter berfikir, 'Mungkin saja anaknya membutuhkan sesuatu yang dia ingin beli dengan uang Rp 10.000 tersebut, dan Simon juga jarang meminta uang.'
Peter pergi ke kamar anaknya dan membuka pintunya.
"Sudah tidur, anakku?” Peter bertanya.
“Belum ayah, saya masih belum tidur,” jawab Simon ragu-ragu.
“Ayah berpikir, mungkin ayah terlalu keras terhadap kamu barusan”, kata Peter. “Hari ini hari yang berat bagi ayah, dan ayah melampiaskannya kepada kamu. Ini Rp 10.000 yang kamu pinta,” kata Peter, berusaha tersenyum.
Simon bangun dan menyalakan lampu.“Oh, terima kasih ayah!” Simon berteriak kegirangan.
Kemudian, Simon mengambil sesuatu dari bawah bantalnya dan ternyata isinya uang.
Peter yang melihat anaknya sudah mempunyai uang, kembali emosinya naik dan hendak marah.
Simon menghitung dengan perlahan uangnya, kemudian menatap ayahnya.
“Kenapa kamu meminta lagi uang jika kamu sudah punya?” gerutu Peter dengan kesal.
“Karena belum cukup, tapi sekarang aku sudah punya cukup uang”, balas Simon dengan wajah gembira. Matanya berbinar-binar bagai bintang menatap Peter.
“Oh.... ayah, saya punya Rp 20.000 sekarang. Bolehkah saya membeli satu jam dari waktu ayah? Saya ingin bermain dengan ayah” katanya sambil mengangsurkan uang Rp 20.000 itu kepada Peter.
Peter terhenyak dan jatuh terkapar bagai dihantam ribuan ton. Ia tak mampu berkata-kata.
(1 Petrus 3:15) Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat,
“Ayah, bolehkah aku menanyakan sesuatu?”, tanya Simon dengan mengerjap-ngerjapkan matanya yang bulat bening.
“Ya, Tentu saja. Apakah yang akan kau tanyakan ?” jawab Peter enggan.
“Ayah, berapa uang yang Ayah dapatkan dalam satu jam?” tanya Simon lagi.
“Itu bukan urusanmu! Apa yang membuatmu bertanya seperti itu ?” sahut Peter dengan nada tinggi.
Dia terkejut dan juga marah dengan pertanyaan Simon.
“Aku hanya ingin tahu. Berapakah yang ayah terima?” pinta Simon lagi.
“Jika kamu benar-benat ingin tahu, ayah terima Rp 20.000 per jam” sahut Peter dengan ketus.
“Oh, begitu,” angguk Simon. Sambil mendongak, Simon berkata, pelan.“Ayah, bolehkah aku pinjam Rp 10.000?” rengek Simon meminta dengan memelas.
"Jika alasan kamu ingin tahu jumlah uang yang ayah terima hanya untuk dapat pinjam dan membeli mainan yang tak berguna atau sesuatu yang tidak masuk akal, maka kamu sekarang masuk kamar dan tidur. Apakah kamu tidak berpikir bahwa kamu egois? Ayah bekerja dengan susah payah setiap hari, dan tidak punya waktu untuk mainan anak-anak,” sentak Peter dengan keras.
Simon mengkerut ketakutan. Tubuhnya bergetar, dan tubuhnya menempel lekat dipintu kamar.
"Ayo sana, masuk kamarmu. Ayah capek, ingin tidur...!!" bentak Peter dengan suara menggelegar.
Tubuh Simon semakin gemetar, namun ia tidak berkata sepatah katapun. Hanya menunduk dan perlahan berbalik masuk kamarnya dan dengan perlahan menutup pintu kamarnya. Tapi diam-diam ia menahan agar air matanya agar tidak mengalir jatuh.
Peter duduk dan semakin marah karena pertanyaan anaknya. "Berani-beraninya ia menanyakan pertanyaan tentang gajiku, hanya untuk mendapatkan uang membeli mainan. Dasar anak nakal," geruutu Peter dalam hati.
Namun setelah lebih dari satu jam ia tak bisa tidur dan merenung, Peter sudah tenang dan mulai berpikir bahwa ia agak keras terhadap anaknya. Peter berfikir, 'Mungkin saja anaknya membutuhkan sesuatu yang dia ingin beli dengan uang Rp 10.000 tersebut, dan Simon juga jarang meminta uang.'
Peter pergi ke kamar anaknya dan membuka pintunya.
"Sudah tidur, anakku?” Peter bertanya.
“Belum ayah, saya masih belum tidur,” jawab Simon ragu-ragu.
“Ayah berpikir, mungkin ayah terlalu keras terhadap kamu barusan”, kata Peter. “Hari ini hari yang berat bagi ayah, dan ayah melampiaskannya kepada kamu. Ini Rp 10.000 yang kamu pinta,” kata Peter, berusaha tersenyum.
Simon bangun dan menyalakan lampu.“Oh, terima kasih ayah!” Simon berteriak kegirangan.
Kemudian, Simon mengambil sesuatu dari bawah bantalnya dan ternyata isinya uang.
Peter yang melihat anaknya sudah mempunyai uang, kembali emosinya naik dan hendak marah.
Simon menghitung dengan perlahan uangnya, kemudian menatap ayahnya.
“Kenapa kamu meminta lagi uang jika kamu sudah punya?” gerutu Peter dengan kesal.
“Karena belum cukup, tapi sekarang aku sudah punya cukup uang”, balas Simon dengan wajah gembira. Matanya berbinar-binar bagai bintang menatap Peter.
“Oh.... ayah, saya punya Rp 20.000 sekarang. Bolehkah saya membeli satu jam dari waktu ayah? Saya ingin bermain dengan ayah” katanya sambil mengangsurkan uang Rp 20.000 itu kepada Peter.
Peter terhenyak dan jatuh terkapar bagai dihantam ribuan ton. Ia tak mampu berkata-kata.
(1 Petrus 3:15) Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat,
Source: Buku Inspirasi Kehidupan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar